0

Belajar Toleransi dari Kedatuan Sriwijaya

Posted by Mr Cassanova on Tuesday, December 19, 2017 in , ,


Wilayah Nusantara dahulu seringkali dikenal sebagai jalur rempah, sebutan jalur rempah bagi wilayah Nusantara tidaklah berlebihan. Daerah Nusantara sedari dulu telah memiliki catatan panjang perdagangan rempah-rempah. Pedagang dari berbagai tempat di belahan dunia seperti dari Arab, Persia, India hingga Tiongkok telah pergi ke Nusantara dalam perjalanannya mencari rempah-rempah. Lokasi wilayah Nusantara yang strategis karena letaknya yang berada di dua samudra dan dua benua, membuatnya telah menjadi tempat persilangan budaya antara berbagai budaya yang berbeda. 

Prasasti Yupa merupakan catatan historis pertama bangsa Indonesia.
Sumber gambar penulis ambil sendiri di Museum Nasional.
             Tidaklah jelas kapan kelompok budaya lain di luar rumpun Austronesia telah datang ke Indonesia. Hingga sekarang sumber sejarah tertua yang tercatat hingga hari ini ialah Prasasti Yupa yang ditemukan di Kutai, dalam prasasti tersebut tercatat adanya kerajaan Hindu pada abad ke-4 Masehi. Hingga sebelum abad ke-4 Masehi belum ditemukan adanya catatan sejarah di wilayah Nusantara, kendati demikian telah diyakini adanya persilangan budaya antara Indonesia dengan budaya lain di luar Indonesia. 

             Tradisi pengobatan di Barus, dapat menjadi bukti nyata bahwa telah terjadi persilangan budaya di wilayah Nusantara pada masa sebelum masehi. Wilayah Barus yang dikenal sebagai penghasil kemenyan dan kapur barus, diyakini telah memiliki kontak dengan peradaban lain di luar Nusantara. Seperti dalam berbagai peninggalan arkeologis peradaban Mesir Kuno menunjukkan bahwa rempah-rempah dan kapur barus telah lama digunakan dalam lingkungan istana para Fir’aun Mesir, tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa kapur barus dan rempah-rempah juga digunakan untuk mengawetkan mayat untuk selanjutnya dibuat mummy. Sejak masa peradaban Tiongkok Kuno, tepatnya lebih lebih dari 2000 tahun yang lalu sudah ada aturan bahwa pejabat atau siapa pun yang ingin menghadap kaisar harus mengunyah cengkeh terlebih dahulu untuk menghilangkan bau mulut. Adanya aturan ini menandakan bahwa telah adanya silang budaya dengan peradaban lain dari sejak sebelum masehi. 

            Perdagangan komoditas rempah baru benar-benar tercatat di kawasan Nusantara setelah masuknya agama Hindu-Buddha dari India. Silang budaya dengan India bukan saja mempengaruhi bidang agama, melainkan budaya dan juga tradisi keberaksaraan serta kesusastraan. Kita patut berterima kasih dengan datangnya budaya India, sebab diyakini bangsa India yang memperkenalkan budaya tulis ke Nusanatara. Terlihat pada Prasasti Yupa yang tersimpan di Museum Nasional, prasasti yang menjadi sumber sejarah pertama bangsa Indonesia tersebut ditulis menggunakan huruf Pallawa dan ditulis dalam bahasa Sansekerta. 

            Persilangan budaya dengan India dan masuknya agama Hindu-Buddha turut berpengaruh besar dalam perkembangan peradaban di kawasan Nusantara. Mulai munculnya berbagai kerajaan yang menganut agama Hindu ataupun Buddha. Salah satunya ialah Kerajaan Sriwijaya atau lazim disebut Kedatuan Sriwijaya. Kedatuan Sriwijaya dalam perkembangan sejarahnya telah berhasil menjadi thalassocracy (kekaisaran maritim). Kerajaan yang didirikan oleh Dapunta Hyang ini, kemudian berhasil mencapai kejayaannya pada masa Balaputradewa. 

Prasasti Nalanda menjadi bukti akan kejayaan Kedatuan Sriwijaya hingga ke mancanegara.
           Di masa Balaputradewa, Kedatuan Sriwijaya bukan saja menjadi pusat perdagangan melainkan juga center of knowledge. Raja Balaputradewa mengirim ribuan mahasiswa untuk belajar ke Universitas Nalanda, India. Prasasti Nalanda, India telah menjadi saksi bisu akan kehadiran mahasiswa Sriwijaya di Nalanda. Universitas Nalanda dan juga Universitas Vikramasila di abad ke-9 dikenal sebagai pusat pembelajaran agama Buddha terbaik di masanya. Dalam Prasasti Nalanda disebutkan bahwa Raja Balaputradewa membangunkan asrama khusus bagi mahasiswa dari Sriwijaya yang kuliah di Universitas Nalanda, tidak hanya itu Raja Balaputradewa pun turut memberikan donasi bagi Universitas Nalanda. Terlihat bahwa Sriwijaya pada masanya sangat memperhatikan sektor pendidikan, bahkan dari Prasasti Nalanda kita dapat menyimpulkan bahwa Kerajaan Sriwijaya memberikan beasiswa full support,  bandingkan dengan pemerintah Republik Indonesia yang hingga kini belum sanggup melakukannya.

            Para mahasiswa yang telah lulus dari India kemudian turut mengembangkan sektor pendidikan di Sriwijaya. Pada masa kejayaannya Sriwijaya telah memiliki universitas yang termasyur, khususnya untuk pembelajaran agama Buddha; kita masih dapat temui sisa peninggalan arkeologis universitas tersebut yang sekarang kita kenal sebagai Candi Muaro Jambi dan Candi Muaro Takus yang hingga kini masih terdapat di Jambi. Di masanya kedua universitas ini dikenal sebagai world class university pada masanya, bahkan banyak mahasiswa dari dalam dan luar negeri yang belajar di kedua universitas tersebut. Demikian juga pengajarnya tidak sedikit dari luar negeri yang menjadi pengajar di kedua universitas tersebut, kendati demikian Sriwijaya memiliki guru besar agama Buddha yang tersohor yakni Sakyakirti atau lazim dikenal di Tibet dan India terutama sebagai Dharmakirti.
           
Candi Muaro Jambi dan Muaro Takus bukti kemajuan ilmu pengetahuan Sriwijaya.
Mulanya Sakyakirti berkelana di berbagai tempat di India untuk mendalami Buddhisme dan akhirnya setelah memperdalam ilmunya, ia dipercaya untuk mengajar di Universitas Nalanda. Kemudian setelah beberapa tahun mengajar ia pulang ke Sriwijaya dan mengajar di Muaro Jambi dan Muaro Takus. Namanya yang tersohor sebagai guru besar agama Buddha, membuat banyak bhiksu mancanegara yang menimba ilmunya di Sriwijaya. Seperti I-Tsing, ia seorang bhiksu dari Tiongkok yang hendak mendalami Buddhisme di India. Sebelum ia pergi ke India, ia terlebih dahulu kuliah di Sriwijaya terutama untuk mendalami bahasa Sansekerta. Universitas di Sriwijaya menjadi tempat pengantar memahami Buddhisme sebelum ke India, bagi para bhiksu dari Tiongkok sebab tingkat akreditasi universitas-universitas Sriwijaya dianggap hampir sama dengan di India. Catatan perjalanan I-Tsing ini penting, sebab dari catatan perjalanannya kemudian diketahui adanya Kerajaan Sriwijaya.
Candi Borobudur, kendati ia dibangun oleh Dinasti Syailendra. Namun Kerajaan Sriwijaya, turut membantu pembangunan Candi Borobudur sehingga tidak heran bila kemudian Candi Borobudur dianggap sebagai salah satu bangunan yang menunjukkan kebesaran Sriwijaya. Dari ornamen yang ada pada Candi Borobudur, menunjukkan pengaruh akulturasi antara budaya lokal dengan pengaruh di India. Setidaknya terlihat dari penyusunan patung dan stupa yang ada pada Candi Borobudur.
Vajraboddhi dan Atisha, dua cendekiawan Buddha dari India yang termasyur dalam sejarah tercatat sebagai murid Sakyakirti dan keduanya pernah belajar di Sriwijaya. Karya-karya yang dihasilkan dari universitas-universitas Sriwijaya pernah menjadi acuan bagi universitas Buddha di berbagai tempat, hingga kini karya-karya Sakyakirti masih menjadi acuan bagi para bhiksu aliran Tantrayana di Tibet, Mongolia, Bhutan, Buryatia dan Kalmykia. Diyakini abu pembakaran Sakyakirti disimpan di vihara daerah Tibet, orang-orang Tibet demikian menghormati Sakyakirit sebab ia merupakan guru Atisha yang telah membawa Buddhisme ke Tibet. Di vihara yang terkena pengaruh aliran Tantrayana tidak sulit kita jumpai lukisan-lukisan wajah Sakyakirti. Dagpo Rinpoche Lobsang Jhampel Jhampo Gyatso (1932 - ), seorang bhiksu dari Tibet diyakini sebagai reinkarnasi Sakyakirti. 

            Kendati Kedatuan Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha dan memiliki identitas agama Buddha yang kuat, namun penganut agama lain tidak mengalami diskriminasi. Di Sumatera Selatan yang menjadi pusat Kedatuan Sriwijaya dapat dijumpai kompleks percandian Bumiayu, yang merupakan komplek percandian Hindu yang dibangun pada masa Sriwijaya. Selain itu  pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya telah menjadi tempat masuknya berbagai agama di dunia, hal ini dirasa wajar mengingat daerah Sriwijaya sendiri telah menjadi pusat perdagangan mancanegara. Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, Tao, Yahudi, Islam, Kristen-Nestorian telah memasuki wilayah Sriwijaya, tradisi pengobatan di Barus menjadi bukti yang menguatkan persilangan budaya antar agama besar dunia tersebut. 

Tradisi pengobatan barus yang menggunakan ramuan tradisional, rempah dan kapur juga memiliki mantra-mantra pengobatan yang menjadi ciri khas. Uniknya mantra-mantra pengobatan itu sendiri terkena pengaruh dari berbagai agama besar dunia, seperti Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, Tao, Yahudi, Islam dan keyakinan setempat. Meskipun agama Kristen-Nestorian turut hadir di Sriwijaya, khususnya di Barus namun mereka tidak mempengaruhi tradisi pengobatan setempat sebab ajaran Kristen-Nestorian sendiri tidak mengakomodir adanya kepercayaan semacam ini. Rupanya walaupun banyak dari mereka yang tidak percaya, namun bila mereka berobat dan diberi mantra agama lain mereka sudi saja membaca mantra tersebut asalkan penyakit mereka sembuh. Sudah menjadi fenomena yang lazim bila misalnya seorang Buddhis datang ke dukun Barus yang kebetulan beragama Hindu, kemudian ia diberi mantra pengobatan yang terkena pengaruh agama Yahudi dan hal tersebut tidak dipermasalahkan. Tidak heran bila kemudian Barus dijuluki sebagai ‘Gerbang Agama-agama Nusantara’. 

Dang Acaryya Syuta seorang Brahmana Hindu tercatat pernah memberikan patung Avalokithesvara kepada masyarakat penganut agama Buddha. Hal ini sekiranya merupakan hal unik terlebih sosok Bodhisattva yang penting dalam keyakinan Buddha, tentunya kejadian ini menjadi bukti toleransi beragama di Sriwijaya. Kita tidak dapat membayangkan misalkan ada seseorang pemuka besar agama lain, memberikan patung sesembahan kepada penganut agama lain yang tidak ia anut.   
Surat kepada Khalifah Umar. Penjelasan pada pameran Kedatuan Sriwijaya.
Raja Sri Indrawarman mengirim surat dan hadiah tanda persahabatan kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis (718 – 720) meminta untuk dikirimkan mubaligh untuk menyebarkan agama Islam di Sriwijaya. Khalifah Bani Umayyah tersebut merespon permintaan Maharaja tersebut dengan mengirimkan 35 kapal ekspedisi persahabatan untuk menyebarkan agama Islam di Sriwijaya. Surat ini menjadi bukti bahwa toleransi beragama di Kedatuan Sriwijaya telah berjalan dengan sangat baik. Toleransi terhadap keberagaman akhirnya menjadi ciri khas Nusantara yang berlanjut hingga pada masa Kerajaan Majapahit yang kemudian mencaplok wilayah Sriwijaya. Mahapatih Gajah Mada menetapkan adanya Darmadyaksa Ring Kasogatan untuk mengurus kebutuhan umat Buddha dan Darmadyaksa Ring Kasaiwan untuk mengurus kebutuhan umat Hindu. Pasca Gajah Mada kemudian ditetapkan Mantri Berhaji untuk agama Kepercayaan Nusantara dan Ratu Pandita untuk mengurus umat Islam. Tidak heran bila kemudian Mpu Tantular, seorang penyair Buddhis melukiskan keindahan toleransi dengan ungkapan Bhinneka Tunggal Ika dalam maha karyanya Kitab Sutasoma.       


Saya (tengah) bersama bhiksu Lobsang Gyatso (kanan) dan temannya dari Tibet (kiri). Bhiksu Lobsang Gyatso yang memiliki nama asli Adendang Sayang. Beliau menempuh pendidikan untuk menjadi bhiksu aliran Tantrayana di Gomang Monastic Institute, India. Institusi yang menjadi tempat belajar bhiksu Lobsang Gyatso, merupakan salah satu tempat pembelajaran aliran Buddhisme Tibet. Banyak tempat pembelajaran Buddhisme Tibet yang kemudian didirikan ke India, semenjak Tibet diduduki oleh Tiongkok dan Dalai Lama mengungsi ke India. Ia ditasbihkan dengan nama Lobsang Gyatso oleh Dalai Lama. Bersama temannya ia sempat berbincang dalam bahasa Tibet, hal tersebut membuat saya kagum karena baru pertama kali saya melihat ada orang yang berbicara dalam bahasa Tibet di Indonesia. Kebetulan teman bhiksu Gyatso tidak dapat berbahasa Indonesia. Dari pembicaraan saya dengan bhiksu Lobsang Gyatso, saat ia berkunjung ke pameran bersama dengan temannya saya mendapatkan banyak informasi mengenai kejayaan Kedatuan Sriwijaya.
Khazanah sejarah Sriwijaya sendiri memang tidak diketahui banyak orang, sebagaimana kejayaan Kerajaan Majapahit. Oleh karenanya PT. Jalur Rempah Nusantara bekerjasama dengan Pemda Sumsel, Kemendikbud, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koordinator Kemaritiman, serta beberapa sponsor perusahaan swasta seperti Sriwijaya Air, CIMB Niaga, Kapal Api, Roma, Kompas, The Jakarta Post, National Geographic, dll.  mengadakan pameran Kedatuan Sriwijaya: The Great Maritime Empire yang diadakan di Museum Nasional selama tanggal 4-28 November 2017. Acara yang dibuka oleh Menko Kemaritiman, Bapak Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Perdagangan, Bapak Enggartiasto Lukito ini bertujuan untuk menyebarkan kepada khalayak ramai mengenai kebesaran Kedatuan Sriwijaya yang tidak banyak diketahui orang, juga untuk menghadirkan kepada pengunjung bahwa Indonesia di masa lalunya merupakan bangsa toleran dan telah memiliki komunikasi antar budaya yang baik. 

             Saya sendiri sebelumnya tidak banyak mengetahui mengenai Kedatuan Sriwijaya, meskipun saya sendiri jurusan Ilmu Sejarah namun periode Indonesia masa Hindu-Buddha merupakan ranah jurusan Ilmu Arkeologi. Saya sendiri baru berkesempatan untuk memahami lebih dalam mengenai sejarah Kedatuan Sriwijaya, karena saya diberi kepercayaan bersama beberapa teman-teman seangkatan saya untuk menjadi guide dalam acara ini. Dipercaya menjadi guide tanpa pengetahuan apa pun mengenai Sriwijaya pastinya akan sangat memalukan, oleh karenanya saya menggunakan waktu saya untuk mendalami literatur mengenai Sriwijaya agar tidak salah memberi informasi kepada pengunjung. Sungguh pengalaman menjadi guide merupakan pengalaman yang beruntung dan berkesan bagi saya, sebab dari sinilah saya mengetahui lebih dalam sejarah panjang silang budaya dan keberagaman bangsa Indonesia, serta kebesarannya di masa lalu.


Copyright © 2009 Irsyad Muhammad Website All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.