0

Nasihat Sayyidina Ali bin Abi Thalib (R.A.) Kepada Die Borussen

Posted by Mr Cassanova on Sunday, March 13, 2016
"Dalam kegelapan yang meliputi malam penindasan, fajar sedang menanti matahari lain yang akan terbit, dunia sedang dalam ketenangan menjelang badai, dan sejarah merenungkan suatu pemberontakan besar melawan dewa-dewa duniawi serta bayang-bayang dan tanda-tandanya - dewa-dewa langit; politeisme dan syirik." (Ali Syari'ati - Abu Dzar) 

Perjuangan demi menegakkan tauhid ataupun pemberontakan besar melawan melawan dewa-dewa duniawi bukanlah semata perlawanan berlaka, melainkan sebuah perjuangan untuk selalu setia kepadaNya. Ancaman konsumerisme, kapitalisme yang tak berujung, serta eksploitasi kaum imperialis dalam dunia sepakbola yang mewujud dalam modern football menjadi sebuah ancaman yang nyata. Kesetiaan baik kepada kebenaran ataupun kepada kejahatan itu bukanlah muncul tiba-tiba perlu dimulai dan ditumbuhkan dalam diri kita sendiri, apalagi bila kita setia kepada kebenaran perlulah kiranya kita merenungi salah satu nasihat Amirul Mukminin Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah (R.A./A.S.) : "Permulaan kebaikan dipandang ringan, tetapi akhirnya dipandang berat. Hampir-hampir saja pada permulaannya dianggap sekadar menuruti khayalan, bukan pikiran; tetapi pada akhirnya dianggap sebagai buah pikiran, bukan khayalan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa memelihara pekerjaan lebih berat dari pada memulainya."

Memelihara kecintaan kepadaNya bukanlah merupakan hal yang mudah, seringkali manusia cenderung jatuh kepada kesesatan yang nyata dengan mengikuti hukum-hukum thagut. Bukanlah hal yang aneh bila di media kita seringkali melihat tokoh yang menjadi besar karena ia melakukan manuver-manuver licik, mungkin juga orang-orang terdekat dalam kehidupan kita seperti tetangga, saudara, bahkan keluarga kita, ataupun kita sendiri melakukan hal yang sama. Jarang sekali dalam keseharian kita berusaha untuk meneladani sikap integritas dan sifat-sifat mulia dari orang-orang kecil yang kesehariannya mereka hanyalah bermodalkan harapan, serta tidak memiliki apa pun selain doa. Sosok seperti Abu Dzar Al-Ghiffari (R.A.) merupakan contoh sempurna mengenai orang kecil berjiwa besar tersebut, dalam dirinya akan kita dapati jiwa besar berintegritas tinggi ia tidak mau membiarkan dirinya mencari hidup dari uang haram. Suatu ketika Muawiyah yang tidak tahan dengan Abu Dzar yang selalu mendakwahkan kepada penduduk Damaskus agar mereka senantiasa hidup dalam asketisme dan ia pun mengutuk sikap Muawiyah dan kawan-kawannya yang menimbun harta dan bermewah-mewahan dengan harta rakyat, Muawiyah tahu bahwa dalam jiwa mulia Abu Dzar terdapat sikap egaliter yang tinggi serta sosoknya teramat sangat menentang perbudakan, - itulah sebabnya kemudian ia mengirimkan seorang budak untuk menyuapnya agar ia menghentikan dakwahnya. "Wahai Abu Dzar ambilah uang ini niscaya majikanku akan segera membebaskanku!" ujar sang budak. Namun Abu Dzar menolak pemberian itu ia pun mengatakan : "perbudakan terhadapku dimulai tatkala aku menerima uang ini darimu!" 
Karena sikapnya yang tidak kenal kompromi serta setia terhadap kebenaran dan penentangannya terhadap sikap keserakahan dan pemborosan yang merupakan ciri khas kapitalisme, tidaklah heran bila dikemudian hari sosok Abu Dzar dikenal sebagai sosok "Sosialis Islam Pertama." Abu Dzar meninggal dalam keadaan syahid dalam pembuangannya di gurun Rabazah, bahkan ketika menjelang ajalnya ia bertanya kepada 3 orang yang mendekatinya : "apakah diantara kalian ada yang menjadi pegawai pemerintah?" Hanya Malik Al-Asytar (R.A.) sajalah yang tidak bekerja pada pemerintah. Wasiat terakhirnya ia meminta agar jasadnya dikafani dan dikuburkan dalam padang pasir Rabazah yang panas membara itu, bahkan menjelang ajalnya pun ia tidak sudi dikuburkan dan dikafani oleh antek-antek kapitalis!

"Memulai pekerjaan adalah sunnah, sedangkan memeliharanya adalah wajib" - Sayyidina Ali bin Thalib. Apa yang Abu Dzar Al-Ghifari kerjakan tidak lebih daripada kutipan tersebut, memang memulai bukanlah hal yang mudah seperti halnya Muawiyah memulai tipu dan daya muslihat bukanlah hal yang mudah, kendati demikian ia berusaha konsisten dengan kelicikannya, ia selalu berusaha agar manuver-manuver yang dikerjakannya berhasil hingga putranya sendiri Yazid menjadi penggantinya - demikianlah dengan Abu Dzar, sosok sederhana ini berusaha dengan konsisten itu memelihara apa yang dikerjakannya kualitas mulia seperti ini dapat pula kita lihat pada sosok lain selain Abu Dzar seperti Bilal bin Rabah (R.A.), Salman Al-Farisi (R.A.), Ammar bin Yasir (R.A.), Miqdad bin Amr (R.A.). 



Prinsip untuk selalu memelihara apa yang sudah dimulai, kualitas mulia seperti ini dapat kita temukan kepada para "batu hitam diantara tembok kuning" atau para "Die Borussen." Bila kita melihat sikap dan gaya hidup para fans sejati BVB ini mereka memiliki kualitas hidup yang demikian asketis dan sangat jauh dari hal-hal profan, ditengah gempuran para Goliath dan juga representasi Muawiyah & Yazid yang menjelma menjadi modern football, dapat kita temukan Abu Dzar-Abu Dzar modern diantara Die Borussen tersebut, seperti yang pernah saya singgung dalam artikel ini http://mrcassanova.blogspot.co.id/2013/12/alles-gute-zum-geburstaghappy-birthday.html 
tatkala timnya menang ataupun kalah mereka selalu setia memelihara kecintaanya kepada Borussia Dortmund. Dengan meneladani sikap-sikap mulia BVB dapat kita temukan korelasi antara pribadi mulia seperti Imam Ali bin Abi Thalib. 

"Dengan padang maaf ia (Ali) menyelamatkan leher
  Yang berlimpah lebih dari tebasan pedang.
 Pedang keampunan lebih tajam dari pedang baja,
  Lebih memenangkan ketimbang seratus pasukan." - (Rumi)
"Wahai kau yang mengungkapkan kata-kata menawan hati, telah kuajari Timur dengan rahasia-rahasia tertinggi. Katakan kepadaku kini, dari mana asalanya gairah menyala akan puisi? Apa ia datang daripada Illahi?" - (Allamah Iqbal)
Dari beberapa kutipan puisi ini dapat kita simpulkan bahwa dalam kepribadian Imam Ali terdapat sebuah ciri khas unik tertentu yang dapat merubah suatu zat kimiawi menjadi suatu unsur lainnya - terutama dalam hal cinta. Apakah perubahan unsur menjadi sebuah istilah yang tepat untuk itu? Saya rasa tidak, saya rasa elixir cintalah yang menjadi padanan kata yang tepat untuk menamai keunikan tersebut. Dari elixir cinta Imam Ali ini dapat kita temukan bahwa dari kepribadiannya ia memiliki daya tarik yang menarik orang untuk mencintainya dan juga memiliki daya tolak yang membuat orang-orang seperti Muawiyah dan kaum khawarij membencinnya. Dari sinilah kita 
bisa menyimpulkan bahwa Imam Ali adalah manusia berdaya ganda! 
                                                                         
Daya ganda ini pun dapat kita temukan dalam kualitas mulia seperti Borussia Dortmund. Dalam sebuah falsafah agung yang bernama "Echte Liebe" (cinta sejati) dalam falsafah agung yang secara axiologis memang ilmiah, Borussia Dortmund memiliki daya tarik yang membuat Die Borussen senantiasa mencintainya dan terberkati oleh pancaran sinar makrifatnya. Serta ia pun memiliki daya tolak yang membuat Die Bauern dan Schießen, senantiasa membencinya! Sudah beberapa kali para bintang BVB pindah ataupun berkhianat tidaklah menjadi apa-apa toh itu semua sudah dinubuatkan, namun Die Borussen senantiasa mencintai dan terpikat oleh daya tarik BVB, bagi mereka para pemain dan pelatih hanyalah orang-orang yang ditempatkan oleh para batu hitam diantara tembok kuning mereka hanyalah pion, Die Borussen itulah yang menjadi batu hitam diantara tembok kuning yang senantiasa berada dalam semesta makrifat BVB. 

"Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia" - Imam Ali bin Abi Thalib


Dari kutipan tersebut terdapat sebuah nilai dari kehidupan Imam Ali yang dapat dipetik oleh Die Borussen. Imam Ali dalam hidupnya yang penuh cobaan dan penderitaan serta kebencian datang padanya silih berganti hingga Ahlul Baitnya senantiasa diburu dan dibasmi sepanjang sejarah, pengikutnya dihabisi serta yang berani meriwayatkan kemuliannya hidup dalam kesengsaraan. Syahidnya Imam Hasan yang kemudian disusul dengan syahidnya Imam Hussein di Karbala bukanlah sebuah martyrdom biasa, namun itu semua ialah syahadat, bangkit, dan bersaksi melawan kezaliman. Seperti halnya Die Borussen yang senantiasa menolak penjualasan BVB kepada sugar daddy ataupun maesenas, mereka layaknya istri Amirul Mukminin Sayyidatuna Fatimah Az-Zahra (R.A./A.S) yang senantiasa memperjuangkan tanah Fadak hingga akhir! Untuk itulah Die Borussen hendaknya mengingat bahwa berharap pada manusia yang fana dan serba profan akan membawa pada kenistaan dan kekecewaan, untuk itulah hendaknya kita selalu merefleksikan diri pada nilai-nilai mulia Sang Borussia Dortmund. 

In BVB we trust! Heja BVB! Borussia Dortmund echte liebe! 



                                                          

Copyright © 2009 Irsyad Muhammad Website All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.