0
Belajar Toleransi dari Kedatuan Sriwijaya
Wilayah
Nusantara dahulu seringkali dikenal sebagai jalur rempah, sebutan jalur rempah
bagi wilayah Nusantara tidaklah berlebihan. Daerah Nusantara sedari dulu telah
memiliki catatan panjang perdagangan rempah-rempah. Pedagang dari berbagai
tempat di belahan dunia seperti dari Arab, Persia, India hingga Tiongkok telah
pergi ke Nusantara dalam perjalanannya mencari rempah-rempah. Lokasi wilayah
Nusantara yang strategis karena letaknya yang berada di dua samudra dan dua
benua, membuatnya telah menjadi tempat persilangan budaya antara berbagai
budaya yang berbeda.
Prasasti Yupa merupakan catatan historis pertama bangsa Indonesia. Sumber gambar penulis ambil sendiri di Museum Nasional. |
Tidaklah jelas kapan kelompok budaya
lain di luar rumpun Austronesia telah datang ke Indonesia. Hingga sekarang
sumber sejarah tertua yang tercatat hingga hari ini ialah Prasasti Yupa yang
ditemukan di Kutai, dalam prasasti tersebut tercatat adanya kerajaan Hindu pada
abad ke-4 Masehi. Hingga sebelum abad ke-4 Masehi belum ditemukan adanya
catatan sejarah di wilayah Nusantara, kendati demikian telah diyakini adanya
persilangan budaya antara Indonesia dengan budaya lain di luar Indonesia.
Tradisi pengobatan di Barus, dapat
menjadi bukti nyata bahwa telah terjadi persilangan budaya di wilayah Nusantara
pada masa sebelum masehi. Wilayah Barus yang dikenal sebagai penghasil kemenyan
dan kapur barus, diyakini telah memiliki kontak dengan peradaban lain di luar
Nusantara. Seperti dalam berbagai peninggalan arkeologis peradaban Mesir Kuno
menunjukkan bahwa rempah-rempah dan kapur barus telah lama digunakan dalam
lingkungan istana para Fir’aun Mesir, tidak sedikit bukti yang menunjukkan
bahwa kapur barus dan rempah-rempah juga digunakan untuk mengawetkan mayat
untuk selanjutnya dibuat mummy. Sejak masa peradaban Tiongkok Kuno, tepatnya
lebih lebih dari 2000 tahun yang lalu sudah ada aturan bahwa pejabat atau siapa
pun yang ingin menghadap kaisar harus mengunyah cengkeh terlebih dahulu untuk
menghilangkan bau mulut. Adanya aturan ini menandakan bahwa telah adanya silang
budaya dengan peradaban lain dari sejak sebelum masehi.
Perdagangan komoditas rempah baru
benar-benar tercatat di kawasan Nusantara setelah masuknya agama Hindu-Buddha
dari India. Silang budaya dengan India bukan saja mempengaruhi bidang agama,
melainkan budaya dan juga tradisi keberaksaraan serta kesusastraan. Kita patut
berterima kasih dengan datangnya budaya India, sebab diyakini bangsa India yang
memperkenalkan budaya tulis ke Nusanatara. Terlihat pada Prasasti Yupa yang
tersimpan di Museum Nasional, prasasti yang menjadi sumber sejarah pertama
bangsa Indonesia tersebut ditulis menggunakan huruf Pallawa dan ditulis dalam
bahasa Sansekerta.
Persilangan budaya dengan India dan
masuknya agama Hindu-Buddha turut berpengaruh besar dalam perkembangan
peradaban di kawasan Nusantara. Mulai munculnya berbagai kerajaan yang menganut
agama Hindu ataupun Buddha. Salah satunya ialah Kerajaan Sriwijaya atau lazim
disebut Kedatuan Sriwijaya. Kedatuan Sriwijaya dalam perkembangan sejarahnya telah
berhasil menjadi thalassocracy (kekaisaran
maritim). Kerajaan yang didirikan oleh Dapunta Hyang ini, kemudian berhasil
mencapai kejayaannya pada masa Balaputradewa.
Prasasti Nalanda menjadi bukti akan kejayaan Kedatuan Sriwijaya hingga ke mancanegara. |
Di masa Balaputradewa, Kedatuan
Sriwijaya bukan saja menjadi pusat perdagangan melainkan juga center of knowledge. Raja Balaputradewa
mengirim ribuan mahasiswa untuk belajar ke Universitas Nalanda, India. Prasasti
Nalanda, India telah menjadi saksi bisu akan kehadiran mahasiswa Sriwijaya di
Nalanda. Universitas Nalanda dan juga Universitas Vikramasila di abad ke-9
dikenal sebagai pusat pembelajaran agama Buddha terbaik di masanya. Dalam
Prasasti Nalanda disebutkan bahwa Raja Balaputradewa membangunkan asrama khusus
bagi mahasiswa dari Sriwijaya yang kuliah di Universitas Nalanda, tidak hanya
itu Raja Balaputradewa pun turut memberikan donasi bagi Universitas Nalanda. Terlihat
bahwa Sriwijaya pada masanya sangat memperhatikan sektor pendidikan, bahkan
dari Prasasti Nalanda kita dapat menyimpulkan bahwa Kerajaan Sriwijaya
memberikan beasiswa full support, bandingkan dengan pemerintah Republik Indonesia
yang hingga kini belum sanggup melakukannya.
Para mahasiswa yang telah lulus dari
India kemudian turut mengembangkan sektor pendidikan di Sriwijaya. Pada masa
kejayaannya Sriwijaya telah memiliki universitas yang termasyur, khususnya
untuk pembelajaran agama Buddha; kita masih dapat temui sisa peninggalan
arkeologis universitas tersebut yang sekarang kita kenal sebagai Candi Muaro
Jambi dan Candi Muaro Takus yang hingga kini masih terdapat di Jambi. Di
masanya kedua universitas ini dikenal sebagai world class university pada masanya, bahkan banyak mahasiswa dari
dalam dan luar negeri yang belajar di kedua universitas tersebut. Demikian juga
pengajarnya tidak sedikit dari luar negeri yang menjadi pengajar di kedua
universitas tersebut, kendati demikian Sriwijaya memiliki guru besar agama
Buddha yang tersohor yakni Sakyakirti atau lazim dikenal di Tibet dan India
terutama sebagai Dharmakirti.
Candi Muaro Jambi dan Muaro Takus bukti kemajuan ilmu pengetahuan Sriwijaya. |
Vajraboddhi
dan Atisha, dua cendekiawan Buddha dari India yang termasyur dalam sejarah
tercatat sebagai murid Sakyakirti dan keduanya pernah belajar di Sriwijaya. Karya-karya
yang dihasilkan dari universitas-universitas Sriwijaya pernah menjadi acuan
bagi universitas Buddha di berbagai tempat, hingga kini karya-karya Sakyakirti
masih menjadi acuan bagi para bhiksu aliran Tantrayana di Tibet, Mongolia, Bhutan,
Buryatia dan Kalmykia. Diyakini abu pembakaran Sakyakirti disimpan di vihara
daerah Tibet, orang-orang Tibet demikian menghormati Sakyakirit sebab ia
merupakan guru Atisha yang telah membawa Buddhisme ke Tibet. Di vihara yang
terkena pengaruh aliran Tantrayana tidak sulit kita jumpai lukisan-lukisan
wajah Sakyakirti. Dagpo Rinpoche Lobsang Jhampel Jhampo
Gyatso (1932 - ), seorang bhiksu dari Tibet diyakini sebagai reinkarnasi
Sakyakirti.
Kendati Kedatuan Sriwijaya merupakan
pusat agama Buddha dan memiliki identitas agama Buddha yang kuat, namun
penganut agama lain tidak mengalami diskriminasi. Di Sumatera Selatan yang
menjadi pusat Kedatuan Sriwijaya dapat dijumpai kompleks percandian Bumiayu,
yang merupakan komplek percandian Hindu yang dibangun pada masa Sriwijaya. Selain
itu pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya telah
menjadi tempat masuknya berbagai agama di dunia, hal ini dirasa wajar mengingat
daerah Sriwijaya sendiri telah menjadi pusat perdagangan mancanegara. Agama
Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, Tao, Yahudi, Islam, Kristen-Nestorian telah
memasuki wilayah Sriwijaya, tradisi pengobatan di Barus menjadi bukti yang
menguatkan persilangan budaya antar agama besar dunia tersebut.
Tradisi
pengobatan barus yang menggunakan ramuan tradisional, rempah dan kapur juga
memiliki mantra-mantra pengobatan yang menjadi ciri khas. Uniknya mantra-mantra
pengobatan itu sendiri terkena pengaruh dari berbagai agama besar dunia,
seperti Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, Tao, Yahudi, Islam dan keyakinan setempat. Meskipun
agama Kristen-Nestorian turut hadir di Sriwijaya, khususnya di Barus namun
mereka tidak mempengaruhi tradisi pengobatan setempat sebab ajaran
Kristen-Nestorian sendiri tidak mengakomodir adanya kepercayaan semacam ini. Rupanya
walaupun banyak dari mereka yang tidak percaya, namun bila mereka berobat dan
diberi mantra agama lain mereka sudi saja membaca mantra tersebut asalkan
penyakit mereka sembuh. Sudah menjadi fenomena yang lazim bila misalnya seorang
Buddhis datang ke dukun Barus yang kebetulan beragama Hindu, kemudian ia diberi
mantra pengobatan yang terkena pengaruh agama Yahudi dan hal tersebut tidak
dipermasalahkan. Tidak heran bila kemudian Barus dijuluki sebagai ‘Gerbang
Agama-agama Nusantara’.
Dang
Acaryya Syuta seorang Brahmana Hindu tercatat pernah memberikan patung
Avalokithesvara kepada masyarakat penganut agama Buddha. Hal ini sekiranya
merupakan hal unik terlebih sosok Bodhisattva yang penting dalam keyakinan
Buddha, tentunya kejadian ini menjadi bukti toleransi beragama di Sriwijaya.
Kita tidak dapat membayangkan misalkan ada seseorang pemuka besar agama lain,
memberikan patung sesembahan kepada penganut agama lain yang tidak ia anut.
Surat kepada Khalifah Umar. Penjelasan pada pameran Kedatuan Sriwijaya. |
Raja
Sri Indrawarman mengirim surat dan hadiah tanda persahabatan kepada Khalifah
Umar bin Abdul Azis (718 – 720) meminta untuk dikirimkan mubaligh untuk
menyebarkan agama Islam di Sriwijaya. Khalifah Bani Umayyah tersebut merespon
permintaan Maharaja tersebut dengan mengirimkan 35 kapal ekspedisi persahabatan
untuk menyebarkan agama Islam di Sriwijaya. Surat ini menjadi bukti bahwa
toleransi beragama di Kedatuan Sriwijaya telah berjalan dengan sangat baik. Toleransi
terhadap keberagaman akhirnya menjadi ciri khas Nusantara yang berlanjut hingga
pada masa Kerajaan Majapahit yang kemudian mencaplok wilayah Sriwijaya. Mahapatih
Gajah Mada menetapkan adanya Darmadyaksa Ring
Kasogatan untuk mengurus kebutuhan umat Buddha dan Darmadyaksa Ring Kasaiwan untuk mengurus kebutuhan umat Hindu. Pasca
Gajah Mada kemudian ditetapkan Mantri
Berhaji untuk agama Kepercayaan Nusantara dan Ratu Pandita untuk mengurus umat Islam. Tidak heran bila kemudian
Mpu Tantular, seorang penyair Buddhis melukiskan keindahan toleransi dengan
ungkapan Bhinneka Tunggal Ika dalam maha
karyanya Kitab Sutasoma.
Khazanah
sejarah Sriwijaya sendiri memang tidak diketahui banyak orang, sebagaimana
kejayaan Kerajaan Majapahit. Oleh karenanya PT. Jalur Rempah Nusantara
bekerjasama dengan Pemda Sumsel, Kemendikbud, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Koordinator Kemaritiman, serta beberapa sponsor perusahaan swasta
seperti Sriwijaya Air, CIMB Niaga, Kapal Api, Roma, Kompas, The Jakarta Post,
National Geographic, dll. mengadakan
pameran Kedatuan Sriwijaya: The Great
Maritime Empire yang diadakan di Museum Nasional selama tanggal 4-28
November 2017. Acara yang dibuka oleh
Menko Kemaritiman, Bapak Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Perdagangan, Bapak
Enggartiasto Lukito ini bertujuan untuk menyebarkan kepada khalayak ramai mengenai
kebesaran Kedatuan Sriwijaya yang tidak banyak diketahui orang, juga untuk
menghadirkan kepada pengunjung bahwa Indonesia di masa lalunya merupakan bangsa
toleran dan telah memiliki komunikasi antar budaya yang baik.
Saya sendiri sebelumnya tidak banyak
mengetahui mengenai Kedatuan Sriwijaya, meskipun saya sendiri jurusan Ilmu
Sejarah namun periode Indonesia masa Hindu-Buddha merupakan ranah jurusan Ilmu
Arkeologi. Saya sendiri baru berkesempatan untuk memahami lebih dalam mengenai
sejarah Kedatuan Sriwijaya, karena saya diberi kepercayaan bersama beberapa
teman-teman seangkatan saya untuk menjadi guide
dalam acara ini. Dipercaya menjadi guide
tanpa pengetahuan apa pun mengenai Sriwijaya pastinya akan sangat
memalukan, oleh karenanya saya menggunakan waktu saya untuk mendalami literatur
mengenai Sriwijaya agar tidak salah memberi informasi kepada pengunjung.
Sungguh pengalaman menjadi guide merupakan
pengalaman yang beruntung dan berkesan bagi saya, sebab dari sinilah saya
mengetahui lebih dalam sejarah panjang silang budaya dan keberagaman bangsa
Indonesia, serta kebesarannya di masa lalu.