1
Resensi Buku Teologi Islam
Dalam bukunya Prof.Dr. Harun Nasution beliau menuliskan mengenai asal-usul
teologi Islam dan dinamikanya serta menjelaskan mengapa bisa tercipta
mazhab-mazhab dalam agama Islam. Prof.Dr. Harun Nasution dibukunya menjelaskan
mengenai sejarah terciptanya mazhab Islam pasca perang Siffin, terdapat 5 sekte
yaitu Khawarij, Sunni, Syiah, Murji’ah & Mutazilah. Beliau menuliskan semua
itu bersumber dari kitab-kitab lama serta sumber kekinian baik dari pemikir
Islam modern terkemuka seperti Syekh Muhammad Abduh dan para orientalis. Dari
semua mazhab yang dikupas dalam buku ini hanya sekte yaitu Sunni & Syiah, khawarij sendiri
sudah punah namun salah satu mazhabnya yang beraliran moderat yaitu Ibadi hanya
satu-satunya mazhab khawarij yang bertahan di Oman & Zanzibar.
Diantara
mazhab-mazhab yang terpecah-pecah itu pun terdiri dari 2 golongan teologis
yaitu aliran yang menggunakan interpretasi logika (Al-Mutazilah) dan interpretasi tekstual. Islam Sunni yang merupakan sekte Islam yang
dianut mayoritas umat Islam menggunakan kaidah teologis Asy’ariyah dan
maturidiah kedua aliran tersebut yang akhirnya menjadi cikal bakal
termanifestasikan mazhab Islam Ahlus-sunnah Wal jama’ah (Sunni). Mazhab Mu’tazilah sempat menjadi mazhab resmi
dalam pemerintahan dinasti Abbasiyah dimasa Khalifah Maimun, putra Khalifah
Harun Ar-Rasyid. Namun yang menjadi masalah dalam berkembangnya Mu’tazilah
dimasa Khalifah Maimun, penerapan mazhab Mu’tazilah menggunakan kekerasan dan
pemaksaan bertentangan dengan spirit ajaran
muta’zilah yang mementingkan penggunaan logika dan memperjuangkan kebebasan
berpikir. Salah satu pengikut ajaran Mu’tazilah Asy’ari keluar dari Mu’tazilah
setelah ia mendapat mimpi bahwa ia ditegur oleh Nabi Muhammad SAW, ia pun
keluar dari ajaran itu setelah sempat meragukan mazhab yang dianutnya. Kemudian
ia pun membentuk aliran teologi baru yang dikenal sebagai aliran teologi Asy’ariyah,
ia membuat buku bantahan terhadap keyakinan Muta’zilah dan menulis beberapa
buku mengenai pemikirannya salah satu muridnya yang cemerlang yaitu Al-Ghazali,
yang kemudian hari dikenal sebagai filsuf Islam termasyur adalah penganut setia
aliran teologi ini.
Al-Ghazali membuat beberapa karya yang mengkritik kaum Mu’tazilah. Terutama sejak kematian Khalifah Al-Maimun, Khalifah berikutnya mencabut Mu’tazilah dari mazhab resmi. Hal ini pun membuat lawan-lawan kaum Mu’tazilah seperti Al-Ghazali serta kaum Maturidiah bersatu melawan mereka dan akhirnya Mu’tazilah pun dicap bid’ah dan kafir. Setelah itu pun mereka lenyap dari sejarah, lenyapnya Mu’tazilah dari sejarah juga karena aliran teologi ini jauh lebih sulit dicerna oleh masyarakat awam, yang cenderung lebih menerima aliran teologi tradisional yang mengacu pada interpretasi tekstual. Serta para ulama Sunni hingga hari ini pun masih mencap aliran Mu’tazilah sebagai kafir dan bid’ah sehingga orang-orang awam enggan mengkaji pemikiran Mu’tazilah.
Al-Ghazali membuat beberapa karya yang mengkritik kaum Mu’tazilah. Terutama sejak kematian Khalifah Al-Maimun, Khalifah berikutnya mencabut Mu’tazilah dari mazhab resmi. Hal ini pun membuat lawan-lawan kaum Mu’tazilah seperti Al-Ghazali serta kaum Maturidiah bersatu melawan mereka dan akhirnya Mu’tazilah pun dicap bid’ah dan kafir. Setelah itu pun mereka lenyap dari sejarah, lenyapnya Mu’tazilah dari sejarah juga karena aliran teologi ini jauh lebih sulit dicerna oleh masyarakat awam, yang cenderung lebih menerima aliran teologi tradisional yang mengacu pada interpretasi tekstual. Serta para ulama Sunni hingga hari ini pun masih mencap aliran Mu’tazilah sebagai kafir dan bid’ah sehingga orang-orang awam enggan mengkaji pemikiran Mu’tazilah.
Penulis
memberikan perbandingan teologis antara aliran teologi yang berbeda dalam
setengah bagian dari buku ini secara sederhana, itulah yang merupakan
keunggulan buku ini. Sehingga buku ini layak dijadikan buku bacaan bagi
masyarakat awam yang ingin memperdalam pengetahuannya mengenai teologi Islam.
Buku ini pun membahas mengenai permasalahan teologi kontemporer yang ternyata
sudah berakar dari ribuan tahun yang lalu, mengenai pertentangan antara penganut
interpretasi tekstual dan penganut interpretasi logika. Era modern ini yang
menghasilkan pemikir-pemikir Islam didikan barat, yang mengabsorsi ide-ide yang
dianggap baru bagi masyarakat tradisional seperti demokrasi, sekularisme,
liberalisme serta munculnya pemikiran Islam yang dikaji oleh para orientalis
memunculkan perspektif baru dalam memandang Islam di dunia Islam sendiri.
Beberapa
dalil dianggap sudah tidak relevan
jika diinterpretasi dengan interpretasi tekstual karena zeitgeist dari setiap
dalil itu sudah lewat. Kalangan intelektual Islam modern dianggap membawa
kembali spirit dari ajaran Mu’tazilah
itu, sehingga mereka pun dicap sebagai Neo-Mu’tazilah. Walaupun kebanyakan
intelektual Islam modern itu penganut Islam Sunni, namun mereka secara tidak
sadar sudah membawakan dirinya sebagai Neo-Mu’tazilah. Salah satu mazhab yang
berkembang berdasarkan acuan interpretasi tekstual, di era Modern ini tetap
bertahan dan menjadi mazhab resmi Kerajaan Arab
Saudi, mazhab yang kita kenal sebagai mazhab Wahhabi. Kaum Wahhabi sampai
sekarang pun masih merupakan mempertahankan interpretasi tekstual atas
dalil-dalil dalam Islam, diberbagai negara mayoritas Islam kedua aliran teologi
itu pun mulai masuk terutama di Indonesia pasca-reformasi. Terlebih lagi Arab Saudi mendanai penyebaran ajaran Wahhabi
keseluruh dunia, di era pasca-reformasi kaum Neo-Mu’tazilah membentuk suatu
organisasi Islam yang dikenal sebagai Jaringan
Islam Liberal (JIL). Kemunculan
kaum Neo-Mu’tazilah pun menjadi kontroversi di Indonesia, namun kontroversi itu
tidak hanya di Indonesia namun dibeberapa negeri mayoritas Muslim yang muncul
ajaran serupa dan kemunculan kaum Wahabbi
pun memunculkan kontroversi dibeberapa negara mayoritas Muslim seperti di
Indonesia, sehingga pertentangan antara dua golongan yang menganut interpretasi
teologi yang berbeda pun meruncing dibeberapa negara mayoritas Islam.
Dunia
dikagetkan dengan peristiwa deklarasi dibentuknya Islamic States of Syria &
Iraq (ISIS), atau yang sekarang dikenal sebagai Islamic States/Islamic States of
Iraq & Levant (IS/ISIL). Organisasi ini yang semula bersama dengan
Al-Qaeda membentuk Jabhat-Nusra bekerjasama dalam menggulingkan Bashar Al-Assad
di Suriah, pun saling bertempur satu sama lain karena perbedaan ideologi
diantara keduanya. Terlebih lagi Al-Qaeda memiliki sikap yang sama dengan
mayoritas masyarakat di dunia yang menentang kekejaman ISIL terhadap golongan
minoritas, salah satu hal yang sempat menggegerkan dunia adalah peristiwa
genosida ISIL terhadap etnis Kurdi yang menganut agama Yazidi serta
perbudakan seks yang dilakukan oleh ISIL. Bahkan ISIL pun tidak segan-segan mencap umat Islam yang tidak sepemahaman
dengan mereka sebagai kafir, tidak salah
jika beberapa ulama, seperti ulama Wahhabi Ja’far
Umar Thalib pun mencap ISIL sebagai
kaum Neo-Khawarij. Label Neo-Khawarij
yang ditujukkan kepada ISIL, dikarenakan
ISIL memiliki kesamaan dengan kaum
Khawarij dalam prinsip utama mereka yaitu Lahukma
Ilalillahi (tiada hukum selain Allah) karena kaum Khawarij beranggapan
bahwa arbitrasi yang dilakukan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah
itu bertentangan dengan ajaran Islam, karena menurut mereka Islam tidak
membahas arbitrase dalam masalah kekuasaan mereka pun beranggapan bahwa baik
Ali bin Abi Thalib maupun Muawiyah telah kafir dan keluar dari Islam. Kebiasaan Khawarij mengkafirkan orang diluar
golongannya (takfiri), perilaku
takfiri ini pun ditemukan dalam video-video yang dirilis oleh media Al-Furqon,
yang merupakan media propaganda milik ISIL.
Beberapa ciri-ciri inilah yang menyebabkan ISIL dijuluki sebagai
Neo-Khawarij. Muncul aliran-aliran lama dengan perspektif baru ini memunculkan pertentangan
antar mazhab seperti yang pernah terjadi dimasa dinasti Abbasiyah, masa
pemerintahan Khalifah Al-Maimun.
Munculnya kembali aliran teologis yang
sudah terkubur dalam sejarah seperti Mu’tazilah dan Khawarij, membingungkan
masyarakat Islam awam. Karena masyarakat Islam awam di negara-negara mayoritas
Islam Sunni, telah terdidik dengan aliran teologis mainstream diantara sekte Islam Sunni yaitu pemikiran Al-Asy’ari
dan Maturidiah. Bagi masyarakat yang cenderung tradisional mereka jauh lebih
menerima teologi yang bersifat tradisional dengan interpretasi tekstual. Bagi
masyarakat yang sudah tersentuh teknologi dan gaya hidup modern, aliran teologi
liberal dengan interpetasi logika jauh lebih diterima. Walaupun buku Teologi
Islam, ini termasuk buku lama namun buku terbitan tahun 1983 yang ditulis oleh
mantan Rektor UIN Jakarta ini masih cukup relevan dengan kondisi kekinian dan
layak menjadi bacaan awal bagi orang awam yang ingin memperdalam teologi Islam.